CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Minggu, 15 Agustus 2010

Ketika Cinta Dituntut Keikhlasannya

Bumi mulai merebahkan diri dalam buai senandung malam. Sebuah kuas tak terlihat menari mendayu menghitamkan langit. Pedar lampu jalan tergolek lemah menyepuh atap-atap rumah penduduk yang berbaris rapat di kawasan Semarang atas. Keindahan kota Semarang di waktu malam selalu menghadirkan nuansa indah yang menggetarkan. Kilau warna-warni cahaya lampu kota, pedar lampu rumah penduduk, terang lampu gedung, aneka sorot papan reklame, dan lincah gerak lampu kendaraan saling menyulam membentuk harmoni absurd warna lukisan surealisme. Aneka warna seperti begitu saja ditumpahkan di atas canvas berwarna hitam. Tak beraturan tapi menghadirkan nuansa nyaman.

Hayya alla sholla

Hayya alla falla

Qadqa matisalla

Allahu akbar allahu akbar

La illaha illallah

Indah lantun iqamah lamat menghilang ketika Rois tiba di rumah kos. Ia indekos di Gergaji, sebuah kawasan yang terletak tidak jauh dari Simpang Lima, ruang publik paling ternama di Semarang. Setelah memarkir motor, menaruh tas dan jaket, Rois bergegas menuju musholla yang terletak tak jauh dari tempat kos. Beberapa bapak yang juga akan mendirikan shalat magrib berjalan tergesa mempercepat langkah. Usai membasuh muka dan berwudhu, ia segera membariskan diri mengikuti urutan shaft. Bacaan Al Qur’an imam mengalun lembut, memantul di antara dinding-dinding musholla, meneduhkan telinga dan jiwa makmum yang berada di belakangnya. Shaf salat tidak terlalu penuh sore itu. 3 baris shaf terakhir tidak terisi jamaah. Tepat Rois berbaris di deret shaft, shalat magrib telah memasuki rakaat kedua.

Musholla Al-Fath tidak berukuran besar, terhimpit di antara deret pemukiman warga. Serambinya pun langsung berhadapan dengan serambi rumah warga. Hidup di pemukiman padat seperti Gergaji memang meniscayakan keberadaan luang lapang layaknya tata ruang di kampung. Kesibukan penduduk kota juga membuat nafas agama di musholla ini kurang terasa gregetnya. Sehabis shalat magrib, tidak seperti mushalla di kampung yang penuh menanggungkan anak-anak belajar mengaji, musholla ini selalu lengang seperti tempat keramaian usai menanggungkan hajatan. Yang tersisa, biasanya, hanya beberapa bapak yang bercakap di teras musholla, menunggu waktu Isya’ atau sekadar bercakap sekadarnya.

Berbeda dari biasanya, usai mendirikan shalat Magrib, Rois tidak ingin segera melipat sajadah. Damai yang tercipta dari khidmat shalat dan suasana nyaman mushalla membuat ia ingin sedikit lebih lama menyatu dalam lirih udara melantukan tasbih kepada Sang Penguasa Dunia. Dengan hati yang dibalut resah, betapa ibadah yang dijalani terasa lebih menemukan ruhnya. Sesaat Rois bergetar malu memikirkan bagaimana ia hanya berlari khusuk kepada-Nya ketika ada kerikil derita ataupun resah menyembul mengganggu ketenangan jiwa. Kenapa begitu susah untuk menggetarkan jiwa dalam doa saat rasa ataupun kehidupan berjalan baik-baik saja. Ataukah, rasa sedih, sakit, dan derita sengaja diciptakan agar manusia dapat merasakan kenikmatan tulus sebuah doa?

Bukan rahasia lagi bahwa kebahagiaan, kemewahan, dan aneka nikmat dunia acap membuat batin manusia menjadi bebal. Segala yang keluar dari batin yang bebal kemudian menjadi terasa kering, gersang, dan layu. Ketika pemilik jiwa gersang ini melantunkan doa, kata-kata itu terasa keluar dari penalarannya saja, bukan dari hati nuraninya. Sungguh berbeda dengan apa yang dirasa oleh merasa yang sedang menanggungkan nestapa. Batin pemilik jiwa yang sedang menderita cenderung peka dan sensitif terhadap rangsangan rasa. Hingga ketika ia berdoa, batinnya juga akan ikut bergetar. Ia seolah luruh dalam pemaknaan kalimat yang terkirim ke langit. Inilah mengapa kesedihan tidak selamanya berkonotasi jelek. Kesedihan, sakit, bahkan perbuatan dosa, dapat menjadi berkah apabila ia kemudian melahirkan penyesalan, pertobatan, kebaikan, dan ketakwaan kepada Allah swt.

Firman Allah dalam Al Qur’an:

Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). 1

Setelah merampungkan wirit, Rois melipat sajadah dan melangkah keluar mushalla. Benar saja, beberapa Bapak nampak asyik berbincang di serambi. Ia menyalami mereka sebelum meninggalkan musholla. Beberapa penduduk yang berpapasan menyapa ketika Rois melewatinya. Cukup lama tinggal di tempat ini membuat Rois telah akrab dengan penduduk sekitar.

Rumah indekos tempat Rois hanya ditempati bertiga, ia (Muhammad Rois), Agus Setyabudi, dan Aris Yusuf Setyawan. Rois yang tertua di antara mereka. Agus bersekolah di SMKN 7 Semarang, sekolah kejuruan terbaik di kota Semarang. Lulusan sekolah ini biasanya memiliki masa depan cerah. Puluhan perusahaan antri untuk mendapatkan tenaga dan pikirannya. Aris yang dulunya juga bersekolah di SMK N 7 Semarang sekarang sudah bekerja di Nasmoco Kaligawe, dekat terminal Terboyo Semarang. Tahun ini ia bahkan terpilih mewakili region Jawa Tengah dan DIY untuk mengikuti lomba Body Painting tingkat nasional di Jakarta. Apabila juara, ia akan mewakili Indonesia mengikuti kontes serupa tingkat Asia Pasifik di Thailand. Sudah 1 minggu ini ia dikirim perusahaannya untuk training di Jakarta dalam rangka persiapan menjelang perlombaan tersebut. Inilah mengapa suasana kos mengalun syahdu penuh keheningan. Apalagi sejak pulang dari musholla, Rois pun tidak melihat Agus. Kalau jam segini ia tidak berada di kamarnya, biasanya ia sedang belajar bersama bersama teman-teman sekolahnya.

Sesampai di kamar, Rois merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Setelah seharian bekerja ditambah resah yang menggelanyuti jiwa, tubuhnya terasa capek juga. Sedikit guyur air, mungkin dapat menghadirkan segar. Tetapi Rois berpikir untuk aku mandi menjelang shalat Isya’ saja. Rois juga berencana menemui Radjimo setelah shalat Isya’. Sesudah magrib, Radjimo pasti sibuk mengajar membaca Al Qur’an anak santrinya. Radjimo adalah mentornya semasa kuliah di Fakultas Sastra. Usianya kira-kira terpaut 5 tahun lebih tua dari dirinya. Radjimo adalah ativitis kampus. Kalau tidak kuliah, waktu dia habis didedikasikan untuk dakwah atau kegiatan keagamaan kampus lainnya. Setelah lulus Radjimo mengabdikan dirinya beribadah mengurus sebuah yayasan amal dan zakat milik seorang dai ternama.

Berbicara dengan Radjimo ibarat mengecap kesejukan air telaga. Tiap suku katanya tersusun dengan baik. Pilihan bahasanya begitu halus dan diucapkan dengan intonasi yang sungguh tepat. Kata yang terucap dari hati yang sepenuhnya hadir untuk menyimak itu selalu ampuh mengurai kusut jiwa tiap kali Rois berada di dekatnya. Radjimo adalah oase kehidupan Rois. Tiap kali ia tersesat dalam gelap lorong jiwa, ia selalu berlari kepada Radjimo. Ilmu agama Radjimo tergali demikian dalam. Kearifannya membumbung tinggi mengecap pintu-pintu langit.

Rois menggeliatkan tubuh dengan malas. Matanya menerawang, menerabas ke atas. Bersitatap dengan langit-langit kamar, ia beristigfar mengingat tantangan Nadia. Sholat membuatnya tenang, tetapi kecamuk bingung masih membakar kedamaian hati. Bencana yang belum lagi ia tanggungkan ini memang telah membuat pikirannya mengembara. Tersesat dalam rimba kekhawatiran nafsu kepemilikan. Tubuh yang dibalut lelah sesaat menggodanya untuk memejamkan mata. Membiarkan pikiran yang juga lelah tersebut berjumpalitan berkelana.

Subhanallah. Membiarkan akal berkelana tanpa kendali sungguhlah perbuatan yang sangat berbahaya. Pikiran yang kosong mudah sekali tergoda untuk menjadi sedih, cemas, takut, dan gundah. Pikiran yang kosong juga akan melemparkan pemiliknya mengingat berbagai hal yang tidak seharusnya diingat, apakah itu romantisme masa lalu atau bayang getir masa depan. Waktu kosong yang dibiarkan berlalu tanpa diisi dengan kegiatan yang positif merupakan bentuk kerugian. Ibarat pencuri, waktu kosong yang dibiarkan akan mencuri jatah manusia untuk mendapatkan kebaikan dari berbuat, pahala dari beramal, ilmu dari membaca, atau teman dari bersilaturahmi.

Betapa pikiran yang dibiarkan kosong memang sangat berbahaya. Ibarat benteng tidak berpenjaga, ia dengan mudah disusupi oleh musuh. Benar saja, kala pikiran Rois melayang-layang tak tentu arah, sesosok makhluk aneh bertandang. Tanpa permisi ia duduk di samping Rois. Berbisik di telinga kirinya, mencoba meniupkan jawab mengurai kabut yang menutupi hati.

‘Katakan saja tidak. Ia tidak akan pergi meninggalkan kamu. Ia akan mengorbankan mimpinya demi ego kamu. Bukankah ia sudah memberitahu kamu. Mengapa kamu membiarkan diri kamu bingung tidak karuan seperti ini. Telepon dia sekarang. Ucapkanlah saja kata itu, dan aku akan membantu kamu,’ demikian ia merayu Rois.

Rois tergagap. Sesosok makhluk hitam jelek sedang merapatkan duduknya ke arahnya. Melihat Rois tidak segera menuruti sarannya, ia kembali menggoda. Ia bisikkan betapa akan gersang hari-hari Rois ketika air kehidupan berhenti mengalir. Ia rentangkan potret suram diri Rois yang berjalan tak tentu arah ketika makna hidup tidak lagi menghangati hati. Ia yakinkan Rois bahwa arti kebahagian sejati adalah ketika bersama Nadia. Membiarkannya pergi adalah sebuah kebodohan, sebuah lubang yang diciptakan sebagai kuburan Rois sendiri.

Rois bergeming. Setidaknya sekarang Rois tahu siapa gerangan yang sedang bertandang. Makhluk itu rupanya berkemauan keras. Ia tidak mudah menyerah. Dalam kamar yang sempit ini, ia melompat, berpindah ke telinga kanan Rois. Makhluk itu katakan bahwa kepasrahan dan keihlasan membiarkan Nadia menjemput mimpinya adalah perbuatan ksatria bodoh yang berjalan dengan kepala tertunduk karena kalah perang. ‘Bangkitlah, katakan tidak kepadanya. Reguk kenikmatan bersamanya. Jangan biarkan ketidakpastian menjauhkan kamu dari nikmat cinta yang sudah kamu genggam. Telepon dia sekarang. Katakan tidak kepadanya.’

Makhluk jelek itu meraung karena Rois tidak jua menuruti kemauannya.

‘Bukankah kamu bilang dia adalah pusat semestamu. Lalu apa yang terjadi apabila sebuah galaksi kehilangan pusatnya? Planet-plantenya akan saling bertabrakan. Hancur berkeping-keping. Jangan biarkan pusat semestamu pergi. Bangkit. Genggam dia. Kamu selalu melafalkan bahwa dia adalah jantung hidupmu. Apa yang terjadi bila separo jantung kamu terenggut hilang? Kamu harus bernafas dua kali lebih berat. Kamu bisa kekurangan oksigen. Dan akhirnya kamu akan mati mengenaskan. Kenapa kamu mau menukar kesenangan dengan sebentuk kebodohan? Bangun, bangunlah wahai temanku.’

Luar biasa daya tahan dan rasa tak tahu malu makhluk ini. Ia memangil Rois dengan sebutan teman segala. Betapa sok akrabnya. Ia kembali merayu. Tak jua kehabisan akal makhluk buruk ini. Makhluk ini seperti membawa setumpuk kamus ‘Cara Jitu Merayu dan Membujuk Hati’. Meski tak jua Rois turuti, ia tetap maju membisikkan tipu rayu.

‘Kamu pikir kamu dapat lagi mendapatkan gadis seperti dia. Kamu pikir ia akan bersedia menunggu dan kembali untuk kamu. Bangunlah. Lihatlah realita. Menyandingkan dia adalah prestasi terhebat kamu. Membiarkan dia pergi hanya akan membuatnya melihat dunia lebih terang, membuatnya bertemu dengan makhluk dari penjuru dunia yang pastinya lebih hebat dari kamu. Apa yang kamu andalkan untuk bersaing dengan orang-orang hebat dari seluruh penjuru jagad itu? Kenapa kamu harus bersayembara dengan nasib.’

‘Bangun. Sadarlah. Apa yang dia lakukan sebenarnya tak lebih dari sandiwara orang tuanya untuk memisahkan kalian berdua. Apa yang membuat ia menahan kabar ini andai bukan karena ia memang sengaja melakukannya? Tegakkan harga diri kamu, teman. Jangan biarkan rasa pasrah menidurkanmu di balik selimut kebodohan yang akan kamu sesali nantinya.’

Hati Rois bergetar, seolah terjadi gempa bumi. Rois tahu makhluk itu adalah perwujudan setan. Rois pun beristigfar. Memohon perlindungan Allah dari godaan setan yang terkutuk. Tapi bukan setan bila ia cepat menyerah. Ia datang dari segala arah dan dapat hadir dalam rupa apapun. Melihat Rois bersikukuh, ia kemudian mengubah dirinya menjadi angin, merobek dada Rois, dan melesat menjerit-jerit di depan pintu hatinya.

‘Sadarlah. Sejarah percintaan jarak jauh mana yang pernah mengabarkan sebuah akhir yang bahagia. Jarak akan membunuh rasa sayang kalian. Gunung akan menghalangi tiupan kasih kalian. Laut yang terbentang akan menghambarkan manis cinta yang kamu kirim untuknya, hingga akhirnya membuat kalian tergelepar dalam derita penantian.’

Rois tersenyum kecut. Statistik memang tidak bersahabat. Sekian pasangan yang ia kenal tidak kuasa menahan coba melewati rasa yang terbentang jauh. Kebanyakan dari mereka memilih menyerah. Rois bukannya tidak tahu, ia sadar akan hal ini. Tapi, bagaimana manusia bisa mengatakan garam itu pahit apabila tidak mencicipinya? Haruskah ia menambah daftar deret panjang mereka yang menyerah? Batin Rois bergetar. Ia orang beriman yang punya Tuhan. Tidak akan ia biarkan buram bayang masa depan menghancurkan keimanannya.

‘Sadarilah kenyataan ini. Jangan menjadi orang yang naif. Ketika masih satu kota, satu negara, hubungan kalian saja begitu pelik, penuh rona, penuh dengan derita dan nestapa. Apalagi nanti ketika jarak memberai kalian berdua. Hubungan dengan restu orang tua saja sering tidak kuasa menahan koyak kesendirian dan penderitaan dalam menahan cabikan kisah cinta jarak jauh. Apalagi kisah kalian, hubungan tanpa restu orang tua dia.’

Luar biasa. Setan terkutuk ini pastinya sudah melakukan riset untuk mengetahui sejarah percintaan Rois dan Nadia. Mendengar ucapannya, Rois terpukul juga. Cinta dengan restu saja acapkali menggigil luruh ketika harus melakonkan long distance relationship. Apalagi cinta yang tak direstui seperti kisah cinta nya ini. Setan hina ini benar juga. Tetapi, bukankah ia sudah kebal dengan kesendirian? Sekarang pun, ketika ia dan Nadia masih satu kota, mereka tidak bisa berjumpa sesering hati menginginkannya. Kala rindu memanggil, mereka harus menciptakan sebuah scenario pertemuan yang tergelar seperti cerita-cerita dalam roman. Mereka bermain petak umpet dengan orang tua Nadia. Jadi, apabila nantinya mereka harus berteman akrab dengan sepi dan sendiri, bukankah selama 2 tahun terakhir ini, itulah kisah cinta yang tergelar? Jadi, apa yang musti ia takutkan untuk menerima tawaran peran roman cinta jarak jauh ini?

Rois bergeming. Ketakutan yang makhluk jahaman hembuskan ini tak mampu membelai kukuh benteng hatinya. Andai cuma kesendirian, ia sudah terlatih untuk mengakrabinya. Melihat Rois masih saja tidak menerima tawarannya, setan ini tidak juga menyerah. Ia justru semakin keras mengetuk hati Rois, meraungkan tipu rayunya.

‘Bangun manusia kepala batu. Apalagi dia seorang wanita, makhluk yang lemah. Tidak akan ada wanita yang tahan terhadap derita. Wanita itu peka, rapuh terhadap rasa. Kamu pikir menahan rindu itu tidak menderita. Kamu mungkin bertahan, tapi tidak dengan dia. Kenapa dia harus menggigil dalam dingin gigitan rindu ketika nanti di sana ada tangan dan hati yang menawarkan hangat. Kamu nanti akan menyesali kebodohanmu ini. Larang dia sekarang. Atau dia akan membunuh kamu di kemudian hari.’

‘Andai ia tetap bersikeras pergi, kamu hendaknya menegakkan harga diri kamu sebagai laki-laki. Sadarilah, siapa yang dapat menjamin ia dapat memelihara rasa. Bisa saja ia akan memutuskan rasa itu. Bangkitlah kalau begitu. Putuskan saja dia sekarang. Tegakkan harga diri kamu. Larang dia untuk pergi. Andai ia tetap bersikeras, bangunlah, ucapkan saja putus kepadanya. Untuk apa kamu bersusah payah menyimpan setia apabila kamu juga tidak tahu apa yang terjadi padanya di negeri seberang sana.’

Rois menatap makhluk jelek itu. Melemparinya dengan senyum. Lalu menggelengkan kepala menolak tawaran manisnya. Selesai? Belum. Setan hina itu tetap maju menerjang dengan rayu maut membiusnya yang lain. Kali ini dia berusaha mematik rasa sakit akibat deraan hinaan keluarga Nadia.

‘Bangun wahai manusia. Tegakkan harga diri kamu. Mengapa kamu tiada jua lelah meski tiap saat pribadi kamu mereka hina. Mengapa begitu mudah kamu melupakan tiap rasa sakit yang keluarganya torehkan kepadamu? Mengapa kamu tetap saja bersetia meski mereka sama sekali tidak menganggap kamu ada. Wahai kawan, kamu adalah seorang laki-laki. Lihat apa yang selalu kamu lakukan. Meringkuk tiarap seperti tikus. Bahkan kamu tidak berani bersikap layaknya lelaki bermartabat. Inikah hidup yang kamu inginkan? Ayo, teman, jalanilah hidup ini dengan penuh kesenangan. Bangkitlah. Raih tanganku. Cecap nikmat dan surga dunia bersamaku. Telepon dia sekarang juga. Katakan tidak kepadanya. Biarkan rasa cemas hati kamu terbang menghilang bersama derap malam yang melaju. Akhirilah semua derita malam ini juga. Telepon dia, katakan bahwa kamu melarang dia untuk pergi.’

Luar biasa stamina setan ketika menggoda. Dia benar-benar tahu bagaimana cara merayu. Tembakannya juga selalu tepat di titik lemah manusia. Dia benar-benar melakukan riset yang hebat sebelum datang menyerang. Rois beristigfar, kembali memohon perlindungannya. Ia tidak boleh kalah. Bukankah Allah telah memperingatkan manusia melalui Al-Qur’an:

Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.’2

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.3

Kalau selama ini Nadia memilihnya sebagai pendampingnya, pasti bukan tanpa alasan. Dan apabila sekarang ia menjadi pribadi kerdil yang membonsai impian Nadia, bagaimana bentuk pertanggungjawabannya kepada Nadia.

Tidak, Rois tidak ingin menjadi pribadi yang picik. Ini bukanlah pribadi Rois sebenarnya. Rois adalah pribadi yang berjiwa besar. Pribadi optimis. Pribadi yang selalu menantikan tiap misteri kelokan hidupnya dengan semangat dan ucap syukur kepada Allah. Sekuat tenaga Rois menguatkan hati.

‘Aku tidak boleh kalah. Andai toh selama ini keluarga Nadia tidak membuka pintu untukku, itu bukanlah sebuah akhir. Selama ada niat, di situ ada jalan. Ketika sebuah pintu tertutup, sejatinya sebuah jendela sedang terbuka. Aku tidak melakukan sebuah perbuatan dosa, aku hanya sedang memperjuangkan cintaku. Aku menyakini rasa ini. Aku akan terus menggegamnya. Berjuang mewujudkannya menjadi nyata. Kalau toh tidak sekarang, insyaallah, besok atau besoknya lagi, pasti pintu keluarga Nadia akan terbuka.’

Sesaat batin Rois bergetar. Ia sedang berjuang mengusir bayang setan tersebut. Rois kemudian menatap ke arah makhluk hina itu. Memberikan senyum terbaiknya. Dan dengan mengucap bismillah, meniup bayang gelap itu merepih hilang tak berbekas.

Ketika Rois memenangkan pertempuran itu, suara alun adzan Isya memantul dari jendela kamar. Subhanallah. Rois mengucap alhamdulillah, memuji kebesaran Allah atas karunia-Nya memberiku kekuatan tidak terbujuk kepada rayu setan yang terkutuk. Waktu terus melaju. Kuas malam yang tersapu semakin pekat saja. Hitam mulai merembes tebal. Menampakkan kilau bulan dan bintang terlihat cantik seperti manik-manik coklat menyepuh rambut hitam panjang perempuan.

Selesai mandi, Rois segera mendirikan shalat Isya. Betapa sempurna ajaran agama Islam. Sholat yang diwajibkan 5 kali sehari semalam sungguh persinggahan teduh untuk meneduhkan tubuh dan ruh yang terpanggang api kehidupan. Shalat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh sesungguhnya mampu membuat hati manusia yang dibakar resah dan dirundung gelisah kembali menjadi tentram dan tenang. Shalat yang dilakukan dengan khusuk dan memperoleh ridho Allah, adalah obat mujarab untuk menghilangkan keluh sedih dan risau yang bertandang. Dalam penghujung rangkaian ibadahnya, Rois tak lupa memohon semoga ia termasuk mereka yang mampu menundukkan hati dan jiwa mengecap kenikmatan tertinggi fadhilah shalat.

[]

Lebih kurang 30 menit berkendara menyusuri jalan Sriwijaya lalu berbelok ke Lampersari, Rois pun tiba di halaman rumah kang Radjimo. Sebuah rumah berlumur cat putih yang mulai kehilangan kilau warnanya. Rumah yang tidak terlalu besar tersebut tenggelam di antara gagah rumah-rumah di sebelahnya. Dulunya, rumah ini adalah kepunyaan orang tua kang Radjimo. Setelah kedua orang tuanya meninggal, sebagai anak tunggal, hak milik rumah turun kepadanya. Meski sebenarnya kang Radjimo dapat pindah ke rumah yang lebih bagus, tetapi ia mengatakan ingin menetap dahulu di rumah ini, setidaknya selama beberapa tahun.

‘Ada amanah orang tua yang harus dijaga,’ demikian Radjimo selalu mengurai alasannya.

Radjimo menyambut Rois dengan gaya khasnya. Senyum lebar, wajah berbinar, dan tangan yang selalu terentang penuh kehangatan. Meski cukup lama kami tidak bertemu, tapi kehangatan dan keceriaannya tak sedikitpun luntur. Tubuh kurus Radjimo sampai terguncang-guncang ketika ia memeluk Rois.

Waalaikumsalam. Mari masuk, saudaraku.’ Ucap Radjimo begitu mengetahui Rois yang datang berkunjung. Sepertinya Radjimo baru saja pulang dari masjid. Sorban dan kopiah masih melingkar di tubuhnya.

Mereka pun duduk di ruang tamu, berisi sebuah meja bundar yang dikelilingi 5 kursi terbuat dari rotan. Rumah Radjimo memang sederhana, tetapi aura yang ada di dalamnya begitu damai dan meneduhkan. Tamu yang masuk ke rumah ini akan merasakan aura tersebut begitu ia melewati pintu masuk. Beberapa kaligrafi yang menggantung di dinding makin pekat menebar aroma sejuk.

Ada apa saudaraku. Apa yang dapat saya bantu?’

Sesaat Rois malu mendengar pertanyaan Radjimo. Ia hanya mengunjungi Radjimo ketika sedang menanggungkan lara. Ketika suasana batin dan jiwanya baik-baik saja, betapa ia mudah melupakan untuk bersilaturahmi kepadanya.

‘Maaf sebelumnya, kang. Saya hanya berkunjung ketika sedang menanggungkan masalah.’ Rois berucap dengan kepala tertunduk karena malu.

Radjimo hanya tersenyum mendengarnya. Sebentar kemudian tawanya membuncah keluar. Ia tertawa cukup keras hingga nampak gerahamnya. Demikianlah Radjimo. Segala tindaknya selalu didasarkan pada perilaku Rasulullah Muhammad saw. Termasuk juga caranya tertawa. Rasulullah mengajarkan kepada manusia untuk selalu menjadi pribadi yang tersenyum. Karena senyum sejatinya adalah obat bagi jiwa. Orang yang mudah tersenyum, menandakan dia selalu berpikir positif dalam hidupnya. Orang yang tersenyum akan menyebar rahmat kepada saudaranya. Bibir yang selalu dihiasi senyum menandakan pemiliknya mempunyai keluasan jiwa, berterima terhadap segala ketentuan-Nya, tidak mudah menyerah, tidak gampang mengeluh, kesabarannya luas, terentang tiada bertepi. Selain tersenyum, Rasulullah juga mengajarkan agar umatnya tertawa dengan lepas. Ketika tertawa, Rasulullah akan tertawa cukup keras hingga nampak gerahamnya.

‘Tidak apa-apa, Is. Biasa itu. Manusia memang seperti itu. Lagipula, kamu kan termasuk orang sibuk. Jadi, maklumlah.’ Pengertian Radjimo makin membuat Rois tidak enak hati saja.

Rois tersenyum kecut dalam hati. Radjimo memang paling bisa menyentil kesalahan orang dengan cara yang halus. Diantara berbagai hal yang ia pelajari dari Radjimo adalah kematangan dalam kemampuan verbalnya. Ia selalu memilih kata dengan tepat. Menyuarakannya dengan intonasi yang tertata. Melumuri tiap kata dengan balut empati yang sesuai. Kata yang keluar dari mulutnya seperti memiliki ruh yang dapat menyihir pendengarnya. Radjimo adalah tipe orator ulung. Diplomasinya benar-benar dapat diandalkan.

Sebelum Rois kembali berucap, Alina muncul membawa minuman dan makanan ringan. Alina adalah istri Radjimo. Mereka berdua bertemu saat aktif berdakwah di kampus. Setelah lulus, Radjimo langsung meminang Alina.

‘Kalau bertemu yang cocok, langsung khitab aja, Is. Menikah adalah salah satu sunnah rasul. Jangan tunggu hingga kamu benar-benar siap. Dituruti sampai kapan pun, terkadang manusia tidak pernah merasa siap. Jika kecantikan dia, keimanan dia, dan kepribadian dia sudah memikat kamu, yakinilah, itulah panggilan Allah yang harus kamu datangi.’ Demikian alasan Radjimo waktu itu mengurai alasan mempercepat pernikahannya. Ketika kemudian Rois memperkenalkan Nadia kepada Radjimo, ia menghadiahkan senyum kepadanya.

Insyaallah, Is. Mohonlah kepada Allah selalu agar kalian segera dipersatukan dalam keluarga yang sakinah.’ Demikian waktu itu Radjimo memberikan restu dan mendoakan Rois dan Nadia.

‘Silahkan diminum, Is.’ Ucap Alina mempersilahkan.

‘Iya, mbak. Terima kasih. Maaf nih jadi merepotkan.’ Ucap Rois berbasa-basi.

‘Tidak ucap berucap begitu, Is. Seperti dengan siapa saja. Jangan sungkan-sungkan gitu. Ayo diminum.’

Begitulah kehangatan keluarga Radjimo menerima Rois. Di tengah segala kesederhanaan, kebersahajaan dan keimanan mereka membuat segala yang tersaji terasa nikmat. Malam itu, disela canda akrab dan hangat yang mencair merambati udara dan hatiku, Rois membuncahkan segala warna rasa yang dua hari ini merajam habis kediriannya. Rois menceritakan kepada Radjimo mengenai dilematika yang sedang ia hadapi. Ketakutan tak beralasan yang menghitamkan hati. Tentang bagaimana rasa takutnya menghadapi bayang perpisahan dengan Nadia. Tentang carut marut lemah jiwanya sebagai manusia. Juga tentang kepasrahan Nadia mengharap jawab darinya.

Radjimo khidmat mendegarkan. Kopiah di kepalanya terantuk-antuk mengikuti anggukan kepala saat dia menyimak. Radjimo benar-benar hadir di hadapan Rois. Ia tidak hanya menyediakan panca inderanya, tetapi juga segenap hati dan rasanya. Hati Rois melembut terguyur oleh sejuk pencerahan yang diuntai oleh Radjimo.

‘Ikhlaskan saja, Is. Sebagai manusia, kita tidak seharusnya meragukan takdir Allah. Apa yang terjadi, semua sudah digariskan bahkan sebelum kita lahir ke dunia ini. Bukankah saat mendirikan salat kita selalu berucap bahwa sesungguhnya hidup kita, mati kita, ibadah kita, hanya ditujukan kepada Allah semata. Ketika kita ikhlas Allah sebagai Tuhan kita, sejatinya, kita juga harus mempercayai terhadap segala takdir, qadha dan qadhar-Nya.’

‘Apabila memang Nadia adalah jodoh yang dipilih Allah untuk kamu, pasti, bagaimanapun jalannya, kalian akan dapat menuju indah maghligai pernikahan. Jangankan orang tua atau bentang jarak, semua manusia dan jin bersatu pun tidak akan mampu mengubah ketentuan Allah. Dan andai Allah tidak menakdirkan kalian berjodoh, walaupun tiap detik, tiap hari, tiap saat, kamu bersama Nadia, akan tercipta sebuah kejadian dimana kalian akan berpisah juga akhirnya.’

Dalam lembut malam yang membujur penuh keheningan, Radjimo mendendangkan bagaimana seharusnya cinta diterjemahkan. Beberapa kali dia juga menyitir kisah-kisah teladan tentang makna kebesaran jiwa dan keikhlasan berkorban yang dimiliki oleh para sahabat dan ulama-ulama besar dunia Islam. Dalam malam yang mengalir khusuk tersebut, Radjimo meneruskan dengan membedah peta-peta jalan hidup yang tergelar. Kearifannya tidak mendoktrin. Keluasan jiwanya tidak membelenggu. Ia menunjukkan jalan dan mempersilahkan Rois memilihnya. Subhanallah, semoga Allah merahmati Radjimo dan pribadi-pribadi terpilih lain yang selalu menyediakan suluh hatinya untuk menerangi jiwa umat yang sedang menderita kegelapan.

‘Ingat Is, Allah sudah berfirman dalam Al Qur’an yang suci bahwa,

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahanya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.4

‘Jalanilah hidup dengan berani, Is. Jadilah pribadi yang ikhlas. Dan lihatlah, betapa hidup ini akan mengalun indah seperti sebuah nada penuh dengan harmoni meneduhkan.’

‘Tak ada guna mencemaskan esok hari. Hiasilah hari ini, saat ini dengan penuh kepasrahan ibadah kepada Allah. Apa yang terjadi dalam hidup sesungguhnya adalah hasil dari apa yang kita lakukan saat ini. Jangan berhenti untuk berbuat baik, apapun yang terjadi. Karena dalam kebaikan, sesungguhnya, yang terlibat hanyalah pribadi tersebut dan Allah swt. Yakinlah dengan nikmat Allah, Is. Sekali kita berniat, mengucap, dan berikrar akan keimanan kepada Allah, maka tak ada yang patut kita khawatirkan selain murka Dia.’

‘Lakukan yang terbaik, dan pasrahkan segala sesuatunya kepada keagungan dan keadilan-Nya. Yakinlah. Nikmat dan ampunan Dia selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar, tawakal, dan tetap memelihara iman dalam dada.’

Embun kesejukan terus menetes dari kearifan Radjimo. Mengecap embun kearifan yang diuntai oleh Radjimo, sejuk kesadaran akhirnya melembutkan jiwa Rois. Ia yakin dengan jawaban yang telah bersemi dalam hatinya. Jawaban atas kepasrahan Nadia telah menebar hangat dalam ruang jiwanya.

Radjimo membelai kepala Rois dan memeluknya erat ketika Rois pamit pulang. Radjimo benar-benar dapat menyelami kalut hati Rois, dan memberikan energi positifnya untuk menghilangkan segala duka tak beralasan. Rois mengucap terima kasih dan mendoakan semoga pribadi terpilih seperti dia selalu mendapat nikmat Allah sehingga selalu dapat membantu sesamanya.

Malam itu, Rois kembali mendirikan shalat Istikharah, memohon pertolongan dari Pemilik segala Kekuatan. Ia pasrahkan segala laku hidup dan warna jiwanya kepada kekuasaan Allah. Dalam malam yang terhampar, Rois menjadi noktah kecil yang meringkuk meminta percik pertolongan dari pemilik kekuatan tiada berlawan. Setengah terisak Rois berulang memanggil nama Allah. Berbincang memasrahkan rapuh dan lemah jiwa manusianya. Alhamdulillah, di sepertiga malam penuh dengan berkah, hati Rois semakin mantab dengan jawaban yang akan ia berikan. Di antara alun sublime malam yang akan berbelok menjemput fajar, firman Allah swt memantul dalam ruang hati Rois:

Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.5

1 QS. Al-Fath:18

2 QS. Al-Faathir:5

3 QS. Al-Faathir:6

4 QS. Al-Faathir:3

5 QS. Ath-Thalaq:2

Share